Engkau memang berhak marah
Setelah berlembar-lembar nyawa melayang,
Samudera tumpah,
Hektaran tanah terhempas,
Topan-topan tertiup
Dari penjuru mata angin
Melumatkan harapan yang
Sekian lama tercabik-cabik
Engkau memang berhak marah
Karena tak ada gelap
Tersibakkan dari
bongkahan tanah
penuh darah
Kekasih,
Mendung yang menyelimuti negeri ini,
Menebal dari hari ke hari
Alangkah bebalnya
Betapa di tanah
Yang menyimpan harum kasturi
Dan sebutir gabah
Di lemparkan
Akan mendedahkan kemakmuran
Yang tak habis-habis
Anak-anak yang menyanyikan lagu
Hari depan harus tersungkur
Tanpa daya
Selembar nyawa
Tak ubahnya ludah,
Yang siap disemburkan kapan saja
Maka, apa artinya upacara
Mengagungkan namamu
Jika dari waktu ke waktu
Prosesi memakan bangkai
Menjadi hidangan tiada henti
Apa artinya mengunjungi rumahmu
Jika hanya dahaga yang tercipta
Kemudian darah yang meleleh
Dari tubuh-tubuh ringkih
Para buruh…
Legam punggung petani
Bocah-bocah yang terserang gizi buruk,
Lumpuh layu,
Adalah minuman
Yang demikian lezatnya
Engkau memang berhak marah,
Karena tak ada kesedihan
Selain hanya sandiwara
Tak ada rasa takut,
Selain pura-pura
Bahkan isi dari kotak kecil
Yang menguasai rumah
Telah menyeret
Anak-anak negeri
Ke dalam lubang
Dengan beribu-ribu ranjau
Yang siap meledak kapan saja
Maka, apa alasanku
Untuk mengharap
Agar engaku tidak marah
Ketika bencana demi bencana
Menjadi hiasan dinding tiap rumah
Lagi-lagi bukanlah isak tangis
Kami malah mempestaporakannya dengan musik
Dengan suara sumbang
Para biduwanita yang genit
Tentu saja dengan suguhan
Paha dan buah dada.