Lir-ilir, Lir Ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo Mbasuh Dodotiro
Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore
Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo.
Kurang lebih artinya seperti ini:
(Ilir-ilir, ilir-ilir…)
tanamannya sudah berkembang/bersemi..
tampak menghijau ibarat pengantin baru..
anak gembala,
anak gembala..
panjatlah blimbing itu..
meski licin panjatlah, buat mencuci kain
kain, kain…
yang sedang robek pinggirnya..
jahitlah dan tamballah untuk menghadap nanti sore..
semampang bulan terang-benderang
semampang lebar tempatnya…)
Makna Tersirat
Ayo bangkit islam telah lahir,
Hijau sebagai simbol agama islam kemunculannya begitu menarik ibarat pengantin baru,
Pemimpin yang mengembala rakyat kenalah islam sebagai agamamu,
Ia ibarat belimbing dengan 5 sisi sebagai 5 rukun islam,
Meskipun sulit dan banyak rintangan sebarkanlah ke masyarakat dan anutlah,
Guna untuk mensucikan diri dari segala dosa dan mensucikan aqidah,
Terapkanlah islam secara kaffah sampai ke rakyat kecil (pinggiran),
Perbaikilah apa yang telah menyimpang dari ajaran islam untuk dirimu dan orang lain guna bekal kamu di akhirat kelak,
Mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan untuk bertobat,
Dan berbahagialah semoga selalu dirahmati allah
Lagu “ilir-ilir” sangat familiar kalau di lingkungan pesantren. Kaset lagu seperti itu -lagu sholawat berlanggam Jawa dengan diiringi gending/gamelan- sangat mudah ditemukan di sekitar Mesjid Sunan Ampel (Surabaya), area pemakanan Sunan Giri (Gresik), dan area pemakaman Sunan Bonang (Tuban).
Di era 90-an, lagu ini dipopulerkan kembali oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan aransemen musik Kyai Kanjeng. Jika diamati musiknya, lagu Jawa tersebut sangat mirip dengan lagu Arab, “Ya Toyyiba” yang kemudian diplesetkan menjadi “Bang Toyib” oleh para pedangdut komersial.
Dalam berbagai literatur sejarah, lagu ini digubah, diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengandung pesan/makna tentang asal-usul dan tujuan hidup. Memberikan rasa optimis kepada orang yang melakukan amal kebaikan demi hari akhir, karena kesempatan di dunia harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan (“Sejarah Sunan Kalijaga”, Dr. Purwadi).
Tapi, saya punya asumsi lain akan makna lagu tersebut. Nyanyian yang sering dipakai oleh anak-anak kecil di kampung sewaktu bermain di bawah terangnya bulan purnama di jaman dulu kala ini bermakna filosofis yang sangat mendalam, yakni terhadap kemajuan dakwah (pengislaman masyarakat Jawa) yang dilakukan oleh Wali Songo.
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo Mbasuh Dodotiro
Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore
Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo.
Kurang lebih artinya seperti ini:
(Ilir-ilir, ilir-ilir…)
tanamannya sudah berkembang/bersemi..
tampak menghijau ibarat pengantin baru..
anak gembala,
anak gembala..
panjatlah blimbing itu..
meski licin panjatlah, buat mencuci kain
kain, kain…
yang sedang robek pinggirnya..
jahitlah dan tamballah untuk menghadap nanti sore..
semampang bulan terang-benderang
semampang lebar tempatnya…)
Makna Tersirat
Ayo bangkit islam telah lahir,
Hijau sebagai simbol agama islam kemunculannya begitu menarik ibarat pengantin baru,
Pemimpin yang mengembala rakyat kenalah islam sebagai agamamu,
Ia ibarat belimbing dengan 5 sisi sebagai 5 rukun islam,
Meskipun sulit dan banyak rintangan sebarkanlah ke masyarakat dan anutlah,
Guna untuk mensucikan diri dari segala dosa dan mensucikan aqidah,
Terapkanlah islam secara kaffah sampai ke rakyat kecil (pinggiran),
Perbaikilah apa yang telah menyimpang dari ajaran islam untuk dirimu dan orang lain guna bekal kamu di akhirat kelak,
Mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan untuk bertobat,
Dan berbahagialah semoga selalu dirahmati allah
Lagu “ilir-ilir” sangat familiar kalau di lingkungan pesantren. Kaset lagu seperti itu -lagu sholawat berlanggam Jawa dengan diiringi gending/gamelan- sangat mudah ditemukan di sekitar Mesjid Sunan Ampel (Surabaya), area pemakanan Sunan Giri (Gresik), dan area pemakaman Sunan Bonang (Tuban).
Di era 90-an, lagu ini dipopulerkan kembali oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan aransemen musik Kyai Kanjeng. Jika diamati musiknya, lagu Jawa tersebut sangat mirip dengan lagu Arab, “Ya Toyyiba” yang kemudian diplesetkan menjadi “Bang Toyib” oleh para pedangdut komersial.
Dalam berbagai literatur sejarah, lagu ini digubah, diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengandung pesan/makna tentang asal-usul dan tujuan hidup. Memberikan rasa optimis kepada orang yang melakukan amal kebaikan demi hari akhir, karena kesempatan di dunia harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan (“Sejarah Sunan Kalijaga”, Dr. Purwadi).
Tapi, saya punya asumsi lain akan makna lagu tersebut. Nyanyian yang sering dipakai oleh anak-anak kecil di kampung sewaktu bermain di bawah terangnya bulan purnama di jaman dulu kala ini bermakna filosofis yang sangat mendalam, yakni terhadap kemajuan dakwah (pengislaman masyarakat Jawa) yang dilakukan oleh Wali Songo.
Lir-ilir, lir-ilir
Lagu “Ilir-ilir” -dalam pemaknaan saya- lebih merupakan sinyalemen keberhasilan dari Sunan Kalijaga terhadap dakwah yang dilakukan oleh para wali di tanah Nusantara. ‘Ijo‘ adalah simbolisasi Islam. ‘Sumilir‘ bermakna bersemi, bersemai, sedang mekar, berkembang. ‘Temanten baru‘ bernilai cerah-ceria, ghirah, bersemangat, antusias, mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa seperti seyogyanya kesenangan, keriangan, kegembiraan yang dialami oleh orang yang baru menikah. Jadi, paragraf pertama dari lagu “Ilir-ilir” tersebut lebih bermakna potret keberhasilan dakwah nilai-nilai Islam dalam masyarakat Jawa oleh para Wali Songo.
tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.
Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi.
Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
‘Bocah angon‘ bermakna para penggiat nilai-nilai Islam, juru dakwah dan simpatisannya. ‘Penekna’ berarti raihlah, dapatkan, capailah. ‘Blimbing’ memiliki bentuk bintang (lima) di ujungnya, merupakan simbolisasi Islam. ‘Lunyu-lunyu‘ berarti keadaan yang sangat sulit, tapi harus tetap dilakukan. ‘Mbasuh‘ artinya menyebarkan, mengembangkan, memperluas dakwah. ‘Dodotiro‘ makna harfiahnya kain, tapi dalam pemaknaan saya itu kekuasaan status quo (dalam hal ini Kerajaan Majapahit). Jadi, paragraf kedua ini bermakna ajakan bagi para penggiat Islam untuk menyebarkan, memperluas dakwah nilai-nilai Islam di bumi Majapahit, walaupun tantangannya sangat berat.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir.
Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
Dodotiro, kumitir bedah ing pinggir‘, maknanya Kerajaan Majapahit sedang goyah, rapuh, mendekati keruntuhan, kehilangan kesatuan dan persatuan, lemahnya kepercayaan dari negeri-negeri bawahan. ‘Dondomana, jrumatana‘ berarti perbaikilah, masukilah dengan nilai-nilai Islam. ‘Seba mengko sore‘, maknanya demi keberhasilan menegakkan agama-agama Illahi. ‘Mumpung padhang rembulane’, berarti semampang kesempatan sangat terbuka, opurtunity bagus, dan Demak di belakang gerakan dakwah tersebut. ‘Mumpung jembar kalangane‘, bermakna semampang prospektif, potensinya sangat terbuka/sangat bagus, masyarakat welcome. Jadi, pargraf ketiga ini menjelaskan opurtunity, peluang, kesempatan secara geopolitik untuk lebih membesarkan agama Islam.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.
Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.
Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo.
Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)
So, “Ilir-ilir” secara garis besar bermakna ajakan, seruan, mobilisasi bagi para juru dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mengembangkan nilai-nilai Islam di bumi Nusantara. Boleh dibilang, “Ilir-ilir” adalah lagu politis -berbasis geopolitik- pada saat itu.
Benarkah? Wallahu’alam bi ash showab. Interpretasi, pemaknaan sejarah sah-sah saja untuk memperkaya sejarah itu sendiri.
tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.
Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi.
Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
‘Bocah angon‘ bermakna para penggiat nilai-nilai Islam, juru dakwah dan simpatisannya. ‘Penekna’ berarti raihlah, dapatkan, capailah. ‘Blimbing’ memiliki bentuk bintang (lima) di ujungnya, merupakan simbolisasi Islam. ‘Lunyu-lunyu‘ berarti keadaan yang sangat sulit, tapi harus tetap dilakukan. ‘Mbasuh‘ artinya menyebarkan, mengembangkan, memperluas dakwah. ‘Dodotiro‘ makna harfiahnya kain, tapi dalam pemaknaan saya itu kekuasaan status quo (dalam hal ini Kerajaan Majapahit). Jadi, paragraf kedua ini bermakna ajakan bagi para penggiat Islam untuk menyebarkan, memperluas dakwah nilai-nilai Islam di bumi Majapahit, walaupun tantangannya sangat berat.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir.
Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
Dodotiro, kumitir bedah ing pinggir‘, maknanya Kerajaan Majapahit sedang goyah, rapuh, mendekati keruntuhan, kehilangan kesatuan dan persatuan, lemahnya kepercayaan dari negeri-negeri bawahan. ‘Dondomana, jrumatana‘ berarti perbaikilah, masukilah dengan nilai-nilai Islam. ‘Seba mengko sore‘, maknanya demi keberhasilan menegakkan agama-agama Illahi. ‘Mumpung padhang rembulane’, berarti semampang kesempatan sangat terbuka, opurtunity bagus, dan Demak di belakang gerakan dakwah tersebut. ‘Mumpung jembar kalangane‘, bermakna semampang prospektif, potensinya sangat terbuka/sangat bagus, masyarakat welcome. Jadi, pargraf ketiga ini menjelaskan opurtunity, peluang, kesempatan secara geopolitik untuk lebih membesarkan agama Islam.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.
Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.
Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo.
Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)
So, “Ilir-ilir” secara garis besar bermakna ajakan, seruan, mobilisasi bagi para juru dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mengembangkan nilai-nilai Islam di bumi Nusantara. Boleh dibilang, “Ilir-ilir” adalah lagu politis -berbasis geopolitik- pada saat itu.
Benarkah? Wallahu’alam bi ash showab. Interpretasi, pemaknaan sejarah sah-sah saja untuk memperkaya sejarah itu sendiri.