Wihdatul wujud merupakan sebuah konsep spiritual yang paling menggegarkan dunia Islam semenjak itu pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi Persia (Iraq), al-Hallaj. Dari istilahnya, Wihdatul Wujud dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang meniscayakan penyatuan antara hamba dengan Tuhan. Hal ini merupakan gagasan yang sangat "berbahaya", konon merupakan kesesatan paling besar yang pernah dihadapi oleh para ahli fiqh.
Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada yang mengerti apa sebenarnya Wihdatul Wujud itu sendiri. Para sarjana Islam dan barat sudah mengemukakan berbagai hasil penelitian mengenai hal tersebut, akan tetapi apakah Wihdatul Wujud itu bisa dijustifikasi dengan logika?
Sementara penemunya sendiri menemukannya sebagai sebuah pengalaman spiritual? Ini merupakan sebuah kenyataan yang aneh. Buku yang sedang anda baca ini akan mengungkap hakikat Wihdatul Wujud yang sebenarnya. Anda jangan mengira anda sudah cukup memahami Wihdatul Wujud sehingga anda menolaknya; saya akan dengan segera menggengam pikiran anda dan mengajaknya jalan-jalan di sepanjang jalan spiritual untuk menemukan kebenaran sejati.
Ini bukan sekedar bacaan saja, anda akan saya ajak mengembara ke alam kesadaran spiritual, untuk menemukan sebuah alasan bagi anda untuk mengakui bahwa Wihdatul Wujud merupakan tujuan anda diciptakan dimuka bumi ini.
Jejak Wihdatul Wujud: Dari al-Hallaj hingga Syekh Siti Jenar Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida, Persia atau sekarang dikenal dengan Iraq. Terlahir pada sekitar tahun 244 H (857 M) dan meninggal pada tahun 309 H (922 M).
Seorang guru, sufi, yang sangat mashyur di zamannya, yaitu saat al-Hallaj berumur kurang lebih 20 tahun, adalah syeikh Amral al-Maliki. Dari Syekh ini al-Hallaj mulai mempelajari tasawuf.
Beberapa tahun berguru pada syekh al-Maliki, al-Hallaj memilih untuk melanjutkan penuntutannya kepada syekh selanjutnya, yaitu syekh al-Junaid al-Baghdadi. Dari syekh al-Maliki, al-Hallaj mengenal tasawuf dan zuhud dan kemudian melaksanakan kehidupan zuhud yang sesungguhnya, namun pemikiran politik yang berbeda antara al- Hallaj dan syekh al-Maliki membuat mereka harus berpisah. Yang memotivasi al-Hallaj hingga menemui syekh al-Baghdadi di Baghdad adalah rasa kehampaan selama melaksanakan zuhud, al-Hallaj merasakan bahwa ada sesuatu yang belum dia temukan dan wajib untuk dicari. Melalu syekh al-Baghdadi, al-Hallaj menemukan jalan untuk melepaskan dahaga rohaninya, al-Baghdadi menyuruhnya untuk menunaikan ibadah haji.
Disaat melaksanakan ibadah haji, al-Hallaj menemukan sebuah ilham, bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran "penyatuan" antara dia dan Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan privasi yang tak tersentuh oleh orang yang tidak mengalaminya. Intisari dari ilham yang dia temukan itulah yang disebut Wihdatul Wujud, untuk pertama kalinya.
Dengan kata lain, Wihdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat al-Hallaj menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj mengemukakan pengalaman spiritualnya, dalam sebuah konsep yang disebut dengan Hulul. Hulul artinya bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia ketika manusia itu mengalami Fana', sebuah proses peleburan indrawi basyariyah. Tanpa
pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa diskusi, golongan Mu'tazilah dan Syi'ah kemudian menggelar klaim akbar bahwa al-Hallaj telah menyebarkan kesesatan terhadap umat Islam, khususnya tentang ketauhidan.
Apa yang disampaikan oleh al-Hallaj merupakan apa yang dia ilhami dari proses tafakkurnya. Dan apa yang ditentang oleh kaum Mu'tazilah dan Syi'ah adalah bahwa tidak benar Tuhan menempati diri manusia; tentu saja, jika manusia masih dengan kesadarannya sebagai manusia, dan terutama karena mereka belum paham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj. Lagipula, menurut beberapa literatur, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk mengeliminasi al-Hallaj dari konstelasi politik saat itu. Al-Hallaj dicurigai dan dituduh bersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya mengkudeta pemerintah.
Al-Hallaj merupakan pemerhati moral politik, suatu saat ada sekelompok besar masa yang melakukan demonstrasi menuntut adanya reformasi moral politik, dan masa ini mengaku mendapatkan dukungan dari al-Hallaj, dan hal ini menyebabkan al-Hallaj dipenjara selama kurang lebih sembilan tahun. Al-Hallaj, singkat kata, dipenjara karena alasan politik, merongrong tatanan pemerintah yang memang sudah harus ditata ulang, al-Hallaj dianggap narapidana yang paling berbahaya karena berupaya menggulingkan pemerintahan; anehnya, al-Hallaj sebenarnya menghabiskan waktunya untuk zuhud dan berdakwah, dan tidak ada keuntungan baginya untuk menggulingkan kekuasaan siapapun karena dia tidak tergolong orang yang cinta dunia.
Al-Hallaj kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak kerajaan sudah meminta ampunan untuk beliau, mengingat jasanya saat mengobati putra mahkota kerajaan. Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan dipukuli dengan balok hingga darahnya bercucuran dari kepala. Al-Hallaj dibiarkan separuh mati selama sehari, dan akhirnya al-Hallaj dipenggal.
Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata al-Hulul. Menurut al-Hallaj, diantara hamba dan Tuhan terdapat garis pemisah yang menegaskan hakikat masing-masing. Garis pemisah itu sangat dekat, yaitu yang menyembah dan yang disembah (al-Abid wal Ma'bud). Pada kondisi dimana ingatan hanya tertuju kepada Allah semata, dan menolak selain Allah, termasuk diri sendiri, maka al-Abid pun lenyap, dan tinggallah al-Ma'bud. Kebaqaan al-Ma'bud merupakan konsekuensi dari fana'nya al-Abid.
Pada titik inilah garis pemisah dan pembeda hakikat pun hilang, sehingga pada hakikatnya yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Hanya saja, orang tidak memahami bahwa yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah bahwa al-Abid melebur masuk kedalam al-Ma'bud, dan bukan al-Ma'bud merasuki tubuh al-Abid. Jika kesadaran al-Abid masih dhahir, maka tidak fana'lah dia, dan jika fana' maka al-Ma'bud lah yang dhahir dan al-Abid menjadi batin atau rahasia yang tersembunyi dibalik
kebesaran Allah Swt.
Ibnu Arabi
Ibnu Arabi merupakan salah seorang sufi termasyhur dizamannya, di Andalusia (Spanyol). Beliau lahir di kota Mursiyah pada tahun 560 H (1165 M) dan meninggal pada tahun 1240 M. Nama aslinya adalah Abu Bakr Muhammad bin Ali, dan panggilan akrabnya adalah Ibnu Arabi.
Hasil pencarian jati diri dan pengalaman mistiknya menyimpulkan sebuah kesadaran spiritual, yang kelak mendapatkan tantangan keras sebagaimana yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain Allah. Ibnu Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu.
Hal ini kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang
dimaksud dengan "Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu" adalah bahwa Allah yang menjadikan segala sesuatu itu nyata, sehingga Allah-lah kenyataan mutlak yang harus dipahami.
Perumpamaan yang bisa diambil dari Wihdatul Wujud Ibnu Arabi adalah bahwa segala sesuatu ini dapat terindrai karena cahaya dan udara, cahaya membuat segala sesuatu terlihat dan udara membuat segala sesuatu terdengar. Kita akan menolak bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan mutlak, namun kita tidak menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk "menyatakan" segala sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah Swt, sudah barang tentu Allah Maha Nyata (Ad-Dhahir), mana kala keberadaanNya membuat nyata segala sesuatu (termasuk diri anda) maka apakah anda keberatan untuk menerima pandangan Ibnu Arabi di atas?
Titik Wihdatul Wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan segala eksistensi yang ada di dunia ini. Hanya saja saya perlu meluruskan pandangan anda tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan "tidak ada yang maujud kecuali ujud Allah" adalah bahwa Ujud Allah merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala yang maujud. Jika Allah tidak ada, maka kita tidak ada. Untuk mengatakan bahwa pepohonan merupakan Ujud Allah itu sangat naif, kesadaran spiritual tidak demikian, tetapi sesungguhnya yang membuat pepohonan itu berwujud adalah adanya eksistensi Allah, sekaligus eksistensi kita yang mengamati dan menyaksikan kenyataan pepohonan tersebut.
Ini bukanlah spekulasi filsafati, ini merupakan misal-misal bagi anda yang suka salah paham dan salah tuduh. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan misal tentang kekuasaan Allah, bagi orang-orang yang berpikir.
Tidak benar bahwa Ibnu Arabi menemukan bahwa "wujud selain Allah adalah wujud bayangan", karena sesungguhnya dengan Ujud Allah maka wujud selainnya menjadi berwujud, berkesistensi. Bukankah segala sesuatu berasal dari kehendakNya? Sehingga yang ada itu hanya berasal dari kehendak dan kehendak berasal dari yang Berkehendak. Jika kita hanya wujud bayangan, maka tidak dikenakan hukum apapun, karena bayangan hanya mengikuti gerak Ujud Allah. Tetapi Wujud merupakan kenyataan Ujud. Alam semesta, termasuk manusia, merupakan kenyataan Ujud Allah; dengan kata lain, Wujud selain Allah merupakan bukti nyata Ujud Allah.
Ada pergerakan pemahaman Wihdatul Wujud antara al-Hallaj dan Ibnu Arabi, jika al-Hallaj menemukan bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ketika manusia tersebut fana', maka Ibnu Arabi menemukan bahwa bukan hanya manusia, tetapi alam semesta. Namun Ibnu Arabi menegaskan pada aspek "kenyataan" dan bukan aspek "penempatan" sebagaimana Hululnya al-Hallaj. Al-Hallaj menegaskan kesadaran spiritual internal,yaitu kesadaran seorang hamba dalam keadaan fana bahwa Allah adalah satu-satunya Ujud; sedangkan Ibnu Arabi menegaskan bahwa Ujud Allah merupakan kenyataan mutlak bagi Wujud selain Allah.
Abu Yazid al-Busthami
Nama beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau dilahirkan di Bistam, Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapa literatur, Abu Yazid merupakan pencetus pertama konsep fana' dan baqa'. Salah satu teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq yang mengajarkan beliau prinsip-prinsip dasar tasawuf.
Dari Syekh Shaddiq, Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan hakikat merupakan pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain; begitupula sebaliknya, syariat dan hakikat.
Persoalan fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian secara gamblang. Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan kesadaran spiritual "bersatunya" hakikat Allah dan hakikat hamba dalam proses fana. Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah pernyatuan rohani, apalagi jasmani.
Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat hamba kepada hakikat Allah, laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur pada kenyataan Allah yang "menyamudra."
Pandangan Abu Yazid ini dianggap menyesatkan, karena meniscayakan adanya penyatuan Allah dan hamba. Ini dianggap sebagai degradasi derajat Allah yang maha Mulia; menganggap Allah sederajat dengan hamba merupakan pelecehan terhadap Allah. Disinilah kesalah tafsiran para ulama pada saat itu (hingga saat ini). Yang dimaksud dengan Hulul dan Ittihad bukanlah menyamakan derajat Allah dan hamba, melainkan justru meniadakan hamba sehingga yang ada hanyalah Allah semata. Diri sendiri merupakan sesuatu yang bisa menghalangi kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Ujud Allah, maka Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.
Syekh Siti Jenar
Biografi Syekh Siti Jenar masih merupakan kontroversi hingga saat ini, bahkan ada atau tidaknya beliau masih merupakan misteri. Sebuah literatur menyebutkan bahwa beliau terlahir pada tahun 1426 M di Cirebon dan meninggal pada tahun 1517 M. Bapak beliau bernama Syekh Datuk Shaleh dan beliau masih tergolong keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib KW.
Syekh Siti Jenar memiliki sejumlah nama (sebutan), beliau hampir memiliki satu nama di setiap tempat di mana beliau menjalankan dakwahnya. Nama yang sangat jelas, selain Siti Jenar, adalah Syekh Abdul Jalil dan Syekh Lemah Abang.
Syekh Siti Jenar tumbuh remaja di sebuah Padepokan Giri Amparan Jati, milik paman beliau. Padepokan ini berada di atas Gunung Jati. Dapa usia 15 tahun, Syekh Siti Jenar berhasrat untuk "turun gunung" untuk melihat keadaan luar. Disinilah perjalanan spiritual Syekh Siti Jenar dimulai.
Syekh Siti Jenar berangkat ke Baghdad (Iraq) untuk memperdalam wawasan agama Islamnya. Dia berkenalan dengan seorang sufi masyhur, yang kemudian menjadi gurunya mengenai tasawuf, yakni Syekh Ahmad Tawalud.
Syekh Ahmad memiliki puluhan kitab ma'rifat yang merupakan peninggalan Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi.
Syekh Siti Jenar diperbolehkan untuk tinggal di rumah Syekh Ahmad, dan dari sekian banyak kitab ma'rifat yang ada di rumah itu, beberapa diantaranya adalah kitab milik al-Hallaj, yang dipelajari secara sangat hati-hati oleh Syekh Siti Jenar. Bukan hanya itu, kitab-kitab Ibnu Arabi dan al-Ghazali juga dipelajari sama hati-hatinya.
Syekh Siti Jenar juga melaksanakan perjalanan penuntutan di India, dan
kembali ke Cerebon pada tahun 1463 M. Syekh Siti Jenar menjadikan Wihdatul Wujud sebagai pedomannya, namun sama sekali bukan sebuah keputusan yang benar bahwa beliau menistakan syariat. Kembalinya dia ke Cirebon membawa dia kepada suatu posisi dalam konstelasi Wali Songo, beliau menjadi salah satu penyebar agama Islam di Jawa, di Indonesia.
Sebagai salah satu anggota penyebar Islam, Syekh Siti Jenar dipercayakan untuk mengajarkan Syahadat (Persaksian). Pemikiran Syekh Siti jenar yang didominasi oleh hakikat itu kemudian membawanya kepada sebuah kesadaran musyahadah tertinggi, yang dia sebut Manunggaling Kawula lan Gusti. Beliau kemudian mengajarkan Manunggaling Kawula lan Gusti kepada para santrinya yang menurut Sunan Kalijaga belum cukup pegetahuan Syariatnya.
Syekh Siti Jenar juga pernah mempelajari hakikat dari Sunan Giri dan Sunan Bonang, tetapi ini masih misteri. Ada sebuah mitos menarik, yakni Syekh Siti Jenar "mencuri" ilmu Sunan Giri dengan berubah wujud menjadi cacing tanah. Para pencerita mitos ini mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar menguasai ilmu kanuragan, termasuk ilmu merubah wujud.
Tetapi bagi saya tidak demikian, Syekh Siti Jenar tidak mempelajari kanuragan, karena kanuragan itu hanya dipelajari oleh orang Buddha pada saat itu, sedangkan Syekh Siti Jenar lahir dalam keluarga Islam yang fanatik. Lagi pula, Syekh Siti Jenar memiliki guru para sufi tersohor di Iraq dan India, dan mempelajari kitab langsung dari para sufi-sufi salafusshalih.
Manunggaling kawula lan gusti merupakan "penjawaan" Hulul dan Ittihad. Istilahnya diubah ke dalam bahasa Jawa agar mudah dipahami oleh masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Wihdatul Wujud telah mendarah daging pada Syekh Siti Jenar, dan itulah kebenaran yang beliau temukan.
Syekh Siti Jenar mengajarkan kepada para santrinya bagaimana cara untuk bersaksi, yaitu harus menyaksikan agar tidak terjadi persaksian palsu. Ini yang tidak diajarkan oleh para wali yang lain paa saat itu; dan tugas ini bukanlah tugas yang mudah.
Syekh Siti Jenar menjelaskan bahwa kenyataan manusia itu mesra dengan kenyataan Allah, sehingga Allah senantiasa mengawasi dan senantiasa dekat, bahkan lebih dekat dengan urat nadi; demikian Syekh Siti Jenar mengutip ayat al-Qur'an. Akan tetapi Syekh Siti Jenar tidak serta merta memberikan penjelasan bagaimana mengalami hal tersebut, karena Syekh Siti Jenar tahu betul bahwa santrinya masih pemula.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kental dengan hakikat dan tasawuf yang pada saat itu bisa dibilang baru, karena para wali, meskipun menguasai hal yang sama, tetapi sama sekali tidak mengajarkan hal tersebut. Ini bisa dimaklumi, karena tugas yang diemban berbeda-beda. Apa yang harus diajarkan lagi jika tugas yang diemban adalah mengajarkan Syahadat? Sebuah Hadits menyebutkan bahwa "Awal dari Agama adalah mengenal Allah." Dan ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar, bahwa jika mereka tidak ma'rifat maka mereka sebenarnya tidak menyembah Allah, melainkan menyembah budi semata.
Menyadari hal ini, Syekh Siti Jenar kemudian mengajarkan kepada para santrinya tentang hakikat ketuhanan, baik dari sumber-sumber yang dipelajarinya, maupun dari hasil perjalanan spiritualnya. Ini diklaim oleh para wali dan pemerintah setempat sebagai upaya penyesatan, namun sekali lagi, ini tidak benar. Sunan Kalijaga sendiri memahami apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar, hanya saja Sunan Kalijaga keberatan jika manunggaling Kawula lan Gusti diwejang kepada para santri yang masuh "bodoh" itu.
Syekh Siti Jenar menolak apa yang disebut-sebut oleh para wali sebagai "sesat" itu. Karena dia tahu benar bahwa apa yang dia ajarkan itu penting, demi benarnya arah peribadatan para santri. Lucunya, apa yang dialami oleh al-Hallaj kembali terulang, dengan alasan politik, Syekh Siti Jenar akhirnya dihukum penggal. Misteri kematiannya juga sampai saat ini belum terungkap dengan jelas.
Para pejabat kerajaan Demak Bintoro menjadi gelisah, mereka khawatir jika ajaran Syekh Siti Jenar ini menimbulkan pemberontakan terhadap pemerintah. Salah satu murid Syekh Siti jenar adalah Ki Ageng Pengging yang merupakan anak istana Majapahit yang pada saat itu berstatus sederajat dengan Raden Patah. Pemerintah khawatir jika terjadi bentrokan antara aden Patah dan Ki Ageng Pengging. Raden Patah pernah memanggil Ki Ageng Pengging untuk menghadap demi klarifikasi ajaran Manunggaling Kawula lan Gusti, namun Ki Ageng Pengging menolaknya, karenanya raden Patah dan para Wali menyepakati untuk menyeret Syekh Siti Jenar di Sidang perwalian.
Mereka mengutus Syekh Domba dan pangeran Bayat, tetapi setelah melewati debat yang ketat dengan Syekh Siti Jenar, Syekh Domba malah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Akhirnya, para Wali sendiri datangi Syekh Siti Jenar dan menghukumi Syekh Siti Jenar, dengan alasan tidak mematuhi sultan demak pada saat itu. Belum lagi mereka mengeksekusi Syekh Siti Jenar, beliau telah melepas diri dengan "jalan kematian" beliau sendiri, dan kemudian diikuti oleh beberapa santri yang telah menguasai ilmu tersebut.
Demikianlah perjalanan Wihdatul Wujud sejak al-Hallaj hingga Syekh Siti Jenar, yang sampai saat ini mendapatkan tudingan sesat, kafir, zindiq, murtad, dan sebagainya. Melalui risalah "Aku dan Wihdatul Wujud" ini, anda akan menemukan jalan yang telah ditemukan oleh al-Hallaj, Ibnu Arabi, Abu Yazid al-Butshami, Syekh Siti Jenar, dan saya sendiri.
Upaya yang saya lakukan ini bukan semata-mata untuk menantang balik tudingan-tudingan tesebut, tetapi juga untuk memurnikan Wihdatul Wujud, dan mengenang para Sufi termasyhur sepanjang sejarah, yang dituding-tuding seperti dan dilaknat seperti Fir'aun. Saya masih tidak mengerti, mengapa para ulama di dunia ini hampir tidak bisa membedakan Fir'aun dengan para Sufi.